Beranda | Artikel
Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 9)
6 hari lalu

Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya, terkait dengan hal-hal yang diharamkan dalam sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya telah jelas segala hal yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan haramkan.

Sebagaimana hadis yang telah masyhur, dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram juga telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa saja yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” (HR. Muslim)

Telah jelas perkara yang halal dan yang haram dalam agama ini. Tidaklah tersisa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Sehingga sikap seorang muslim pada masalah muamalah, berputar pada tiga hal:

PSB Hidayatunnajah

Pertama: Muamalah yang sifatnya halal

Silakan untuk dimanfaatkan, dilakukan dan laksanakan, selama sifat dan akadnya jelas dan halal.

Kedua: Muamalah yang sifatnya haram

Silahkan untuk ditinggalkan karena terdapat larangan yang telah melarangnya. Mengingat segala yang Allah dan Rasul-Nya larang mustahil jika tidak menimbulkan mudarat ataupun kerugian. Seringkali kerugian muncul karena adanya sistem transaksi yang haram.

Ketiga: Muamalah yang sifatnya syubhat

Pada hal inilah seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli ilmu akan keabsahan suatu akad. Apakah akadnya tersebut halal atau haram. Jika masih tetap berada di atas perkara syubhat, maka lebih baik ditinggalkan. Hal itu lebih selamat untuk diri dan agamanya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah hendaknya seorang muslim bermuamalah. Tidak menerjang segala yang dilarang oleh Allah hanya karena masalah perut.

Terdapat hadis yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if, namun secara makna dapat diambil faidah darinya,

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih baik untuknya.”

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhullah berkata, “Hadis tersebut adalah hadis yang dha’if, datang dari Abu Bakr Ash Shiddiq …. Adapun makna hadisnya adalah sesungguhnya setiap tubuh dan daging yang diberikan gizi dengan yang haram, maka di akhirat kelak ia akan ditempatkan di neraka sebagai hukuman untuknya. Karena Allah Ta’ala telah mengharamkan hal-hal yang buruk dan penghasilan yang haram dan Allah hanya memerintahkan untuk memakan yang halal saja …” [1]

Sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan

Setelah membahas hal-hal yang diharamkan, tentu perlu untuk diketahui soal sewa menyewa jasa untuk hal ibadah dan ketaatan [2].

Terkait dengan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan setidaknya terbagi menjadi tiga:

Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah.

Yakni, untuk ibadah-ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain yang wajib dilakukan untuk setiap individu, bukan sifatnya fardhu kifayah yang dapat diwakili oleh yang lain. Seperti salat lima waktu, haji untuk dirinya sendiri, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan amalan-amalan lainnya yang wajib untuk setiap individu melaksanakannya.

Amalan atau ibadah yang demikian tidak diperbolehkan untuk menyewa jasa orang lain untuk melakukannya, atau mengambil upah dari melaksanakan ibadah orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Demikian pula, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengambil upah dari amalannya tersebut upah dari baitul mal atau melakukan sayembara. Seperti memberikan upah bagi orang yang ingin salat di belakangnya (akan mendapat uang). Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَى ٱلْقِرَاءَةِ وَإِهْدَائِهَا إِلَى ٱلْمَيِّتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْإِذْنُ فِي ذَٰلِكَ. وَقَدْ قَالَ ٱلْعُلَمَاءُ إِنَّ ٱلْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ لِأَجْلِ ٱلْمَالِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ، فَأَيُّ شَيْءٍ يُهْدَىٰ إِلَى ٱلْمَيِّتِ؟ وَإِنَّمَا يَصِلُ إِلَى ٱلْمَيِّتِ ٱلْعَمَلُ ٱلصَّالِحُ، وَٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَىٰ مُجَرَّدِ ٱلتِّلَاوَةِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي ٱلِٱسْتِئْجَارِ عَلَى ٱلتَّعْلِيمِ

Dan tidak sah hukumnya menyewa seseorang untuk membacakan Al-Qur’an dan kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini karena tidak ada ada satu pun riwayat yang dinukil dari para imam yang membolehkan akan hal tersebut. Para ulama telah mengatakan bahwa seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an), jika ia membaca Al-Qur’an hanya sebatas untuk mendapatkan harta (uang) saja, maka tidak ada pahala untuknya. Lantas, apa kiranya yang dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Sesungguhnya yang sampai kepada orang yang sudah meninggal adalah hanya amal salehnya saja. Dan menyewa (seorang qari’) untuk sebatas membaca Al-Qur’an saja (tanpa tujuan belajar), tidak ada satu pun ulama yang berpendapat akan kebolehannya. Sejatinya mereka (para ulama) berselisih pada sewa menyewa jasa yang sifatnya mengajarkan.” [3]

Sehingga para ulama sepakat pada hal-hal yang sifatnya ibadah mahdah atau sifatnya fardhu ‘ain, tidak berlaku padanya sewa menyewa jasa. Bahkan, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Tidak ada perselisihan (pada masalah tersebut).”

Bentuk larangan dari masalah ini adalah dikarenakan jika kembali kepada definisi sewa menyewa adalah sifatnya seperti jual beli jasa. Ada jasa yang diterima dan dikerjakan dan ada upah yang diterima, jelas padanya jasa dan upahnya.

Sedangkan pada perkara ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain, manfaat yang diperoleh adalah pahala. Tentunya, jual beli pahala itu tidak sah. Selain itu, pada sewa menyewa jasa telah diketahui bahwa secara umum upah itu tidak berhak diterima kecuali setelah manfaat tersebut diterima. Sedangkan bagaimana dengan pahala? Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti bahwa pahala tersebut sudah diperoleh dan diterima oleh si penyewa jasa.

Berangkat dari hal tersebut, para ulama sepakat tentang tidak bolehnya ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain digunakan sebagai sewa menyewa. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah ibadah atau ketaatan yang sifatnya fardhu kifayah, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain. Terkait pembahasan ini, InsyaAllah akan datang pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

***

Depok, 6 Sya’ban 1446/ 5 Februari 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/103548-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-9.html